Azrul
Azwar
Disampaikan
Pada Seminar Jamu Sebagai Komplemen Potensial Menuju Indonesia Sehat, Dewan
Riset Nasional, Jakarta 3 Agustus 2004
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan
hak asasi setiap manusia Setiap orang membutuhkan pelayanan kesehatan,
yang akan dicarinya sesuai dengan kemampuan dan tingkat pemahaman serta
ketersediaan pelayanan kesehatan di
sekitarnya. Untuk memenuhi hak asasi dan atau kebutuhan kesehatan tersebut, yang penting artinya dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilakukanlah pelbagai upaya kesehatan dengan memanfaatkan seluruh potensi bangsa..
Salah
satu dari potensi yang dapat dimanfaatkan serta yang sangat menjanjikan adalah pengobatan tradisional yang sudah ada
di masyarakat, yang sampai saat ini tetap dipercaya bermanfaat untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan.
Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan pengobatan
tradisional sebagaimana tercantum dalam
UU nomor 23 tentang Kesehatan. Pasal 47 UU No 23 Tahun 1992 tersebut menyebutkan bahwa pengobatan tradisional
adalah upaya pengobatan atau perawatan dengan
cara lain diluar ilmu kedokteran yang mencakup cara (metoda), pengobat
dan obatnya yang diperoleh secara turun temurun, berguru atau melalui pelatihan
– pendidikan, baik yang asli Indonesia
maupun yang berasal dari luar Indonesia dan diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Obat dan
pengobatan tradisional merupakan bagian
dari budaya dan tradisi masyarakat. Obat dan pengobatan tradisional sudah ada, berkembang dan dimanfaatkan masyarakat sejak dahulu kala yang diturunkan
secara turun–temurun dan sampai saat ini masih diakui eksistensinya dan
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Seperti diketahui Indonesia memiliki
keaneka – ragaman hayati terbesar di dunia dengan kurang lebih 30.000 jenis
tanaman , dan diantaranya sekitar 940 jenis telah diketahui khasiatnya dan baru sekitar 180 jenis digunakan oleh industri obat asli Indonesia. Pemanfaatan obat tradisional
saat ini sangat pesat terbukti dengan bermunculan jamu-jamu berbagai merek
serta para pengobat tradisional yang menawarkan beraneka ragam ramuannya, Masyarakat mulai tertarik dan memanfaatkan ramuan tertentu yang
dipromosikan terutama untuk
penyakit-penyakit degeneratif (seperti hipertensi dan kencing manis) atau kanker seperti benalu teh atau kunyit putih,
yang secara jujur harus diakui belum begitu diketahui tentang keamanan dan khasiatnya.
Disamping itu
belakangan ini mulai banyak ditemukan pula pelbagai obat tradisional
luar negeri yang masuk ke Indonesia , sebagian besar berkedok “Health
food”, vitamin atau penyegar, suplemen yang ditawarkan tidak hanya
sebagai upaya promotif dan preventif kesehatan tetapi juga untuk pengobatan penyakit – penyakit tertentu
seperti jantung, hipertensi , kencing manis serta untuk perawatan kecantikan dan menunda penuaan . Demikian gencarnya promosi obat-tradisinional dan juga
karena ditambah dengan terdapatnya kecendrungan masyarakat untuk kembali ke
obat alam atau berobat secara natural menyebabkan masyarakat cepat menerima dan
menkonsumsi obat tradisional dan atau
jamu tersebut. Kecuali itu, sejak lima tahun terakhir, ketika masyarakat Indonesia dilanda
krisis ekonomi yang sampai saat ini
terus berkepanjangan, makin mendorong masyarakat untuk menggunakan obat dan
pengobatan tradisional dan atau jamu yang
memang relatif lebih terjangkau.
Menyadari betapa pesatnya
perkembangan penggunaan jamu di masyarakat dan potensi jamu Indonesia begitu
besar yang apabila dapat dikelola dengan baik akan dapat menjadi aset yang
mendatangkan devisa untuk negara, maka pengawasan dan pembinaan yang intensif
serta pengamanan pengembangan obat
tradisional memang perlu terus ditingkatkan.
PEMANFAATAN PENGOBATAN TRADISIONAL/
JAMU OLEH MASYARAKAT
Susenas tahun 1995
menunjukkan, persentase penduduk yang minum dan memakai jamu/obat
tradisional cukup tinggi yaitu 32,5%. Jamu/obat tradisional yang
dikonsumsi penduduk umumnya (14,5%) adalah buatan penjaja jamu gendong, 13,21%
buatan pabrik dan 3,67% buatan sendiri. Sedangkan hasil Susenas tahun 2001
menunjukan persentase masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri dengan obat
tradisional menurun sedikit tetapi tetap masih tinggi yaitu 31,7%.
Pada umumnya masyarakat memilih untuk mempergunakan obat tradisional
sendiri di rumah adalah karena obat
tradisional mudah diperoleh, murah harganya, praktis dan dirasakan aman. Jadi
secara ekonomi obat tradisional sangat membantu masyarakat yang berasal dari
lapisan sosial ekonomi rendah serta yang tinggal jauh dari fasilitas
pengobatan.
Dari hasil penelitian penggunaan
obat dan cara pengobatan tradisional di rumah tangga diketahui bahwa 44%
masyarakat di Jawa Barat apabila sakit pertama-tama akan melakukan sendiri
pengobatan secara tradisional. Sementara di Jawa Tengah, perilaku pengobatan
tersebut dilakukan oleh 25,2% penduduk dan di Lampung 24,8% (Depkes RI, 1994).
.
Obat dan pengobatan tradisional
tidak saja menjadi alternatif pengobatan
dalam mengatasi masalah kesehatan rakyat tetapi oleh sebagian besar masyarakat
lainnya sebagai pilihan utama atau pertama sebelum memanfaatkan pelayanan formal.
Disamping itu sudah mulai ditemukan kecendrungan
pemanfaatan jamu di sarana pelayanan
kesehatan terutama praktek swasta,
perorangan untuk menanggulangi
kekurangan obat dan merespons kekurangan
daya beli masyarakat.
Meantisipasi kebutuhan masyarakat akan
pengobatan tradisional yang semakin besar, dan perkembangan industri obat
tradisional dalam memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional, maka perlu
dilakukan penelitian dan percepatan produksi obat jamu yang aman dan bermanfaat
. Dalam melaksanakan penelitian tersebut tentu harus digalang kerjasama dengan
Institusi penelitian/pengkajian dan
pihak terkait lainnya, baik Pemerintah maupun Swasta. Dengan demikian
pemanfaatan obat tradisional di jaringan pelayanan kesehatan dapat lebih
dimantapkan.
Dalam
rangka pengembangan obat dan pengobatan tradisional Departemen Kesehatan RI telah mendirikan Sentra
Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T). Sentra P3T merupakan suatu
wadah/ laboratorium untuk melakukan pengkajian/pengujian/penelitian, obat
maupun cara pengobatan tradisional termasuk uji klinis obat tradisional. Selain
penelitian fungsi lainnya untuk pengembangan
pendidikan dan pelatihan serta pelayanan tentang obat dan cara
pengobatan tradisional sebelum diterapkan secara luas di kalangan masyarakat
dan sebelum diitegrasikan ke dalam jaringan pelayanan kesehatan. Sampai dengan
saat ini telah terbentuk 12 Sentra P3T di Propinsi Jawa Timur, DKI Jakarta,
Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara,
Maluku.
Ditinjau dari Jaringan pelayanan kesehatan
mulai dari tingkat perorangan
atau keluarga, tingkat masyarakat ,
tingkat pertama (strata pertama ) strata
kedua dan ketiga , pada saat ini pemanfaatan obat tradisional / jamu masih berada pada :
a.
Tingkat perorangan /keluarga, sebagai
pelayanan kesehatan mandiri (Self care, self medication)
b.
Tingkat masyarakat sebagai upaya kesehatan bersumber Masyarakat. (UKBM),
yaitu Pos obat desa, posyandu, toko
obat, tukang jamu gendong dan lain sebagainya.
PENGEMBANGAN
JAMU DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Seperti
diketahui Jamu (ramuan obat tradisional )
merupakan bagian budaya
masyarakat yang diwariskan
turun-temurun. Obat tradisional/ jamu
dalam pengembangannya terdiri
dari tiga bentuk :
1.
“Raw
Material “ bahan baku atau bahan mentah seperti tumbuhan/ tanaman berhasiat.
Oleh masyarakat dibudidayakan sebagai TOGA (= Taman Obat Keluarga), digunakan dalam
bentuk jamu atau ramuan tanaman tunggal sebagai self medicated atau self-care.
2. Dalam bentuk ekstrak berasal dari bahan tanaman berkhasiat obat dan telah
melalui uji farmakologi, toksisitas, uji
keamanan ( Uji Pra Klinik), dan uji klinik (UKOT). Obat dalam bentuk ini
dikenal dengan nama Fitofarmaka.
3. Zat aktif
: yang diambil bahan tanaman obat
tradisional dan diproduksi sebagai obat modern. Pada saat ini kemampuan
Indonesia untuk mengidentifikasi zat aktif yang terkandung dalam ramuan yang
digunakan masih sangat terbatas sekali.
Strategi pengembangan obat tradisional/jamu untuk pelayanan kesehatan di Indonesia mengacu pada “Claim khasiatnya”
sebagai berikut:
1.
Apabila diclaim untuk
pengobatan maka
obat tradisional tersebut harus melalui uji klinik, yang tentu saja
sebelumnya harus melalui uji farmakologi, uji toksisitas dan tahapan lain uji Praklinik.
2.
Apabila khasiatnya
bukan diclaim sebagai pengobatan yaitu hanya
sebagai “health food “,penyegar,
untuk menambah kecantikan, kebugaran, meningkatkan stamina dll, maka sikap kita tergantung pada dua hal yaitu :
a.
Apabila bahannya sudah lama dikenal dan diketahui manfaatnya untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan dalam khasanah nenek moyang kita ,
seperti beras kencur, kunyit asam, dan lain lain jamu yang
secara empiris digunakan oleh masyarakat
kita ditiap daerah/ etnik di Indonesia yang secara turun – temurun maka obat
tradisional atau jamu tersebut dapat
langsung dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat, tanpa uji praKlinik dan uji Klinik.
b. Tetapi apabila tanaman /bahan obat yang baru
dikenal, dan diclaim bukan sebagai pengobatan/ hanya Health food atau penyegar
sebelum dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan ataupun disebarluaskan dalam
pelayanan kesehatan masyarakat,
sebelumnya harus lulus uji
farmakologi, uji toksikologi, atau rangkain tahapan uji praklinik Obat Tradisional (PraKOT).
Sesuai Peraturan Menkes R.I Nomor 760/MENKES/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka , pada lampirannya tercantum daftar obat yang harus dikembangkan
menjadi Fitofarmaka yaitu ada 19 kelompok obat seperti obat anti diare, anti
hepatitis khronik, anti hipertensi, anti malaria dan atau obat anti kanker. Didalam
penerapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka prioritas utama yang
dilakukan adalah dalam rangka menggali dan mengembangkan obat tradisional warisan budaya masyarakat Indonesia.
Dan dengan adanya Sentra P3T di setiap Propinsi maka tiap propinsi sebaiknya
mengembangkan ramuan obat tradisional
unggulan/spesifik pada masyarakat etnik
setempat, dengan tetap memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan untuk
pemilihan Fitofarmaka yaitu :
1. Bahan
bakunya relatif muda didapat.
2. Didasarkan
pada pola penyakit di Indonesia atau khususnya di daerah ybs.
3. Perkiraan
manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar
4. Memiliki resiko dan kegunaan menguntungkan penderita.
PENUTUP
Perspektif
pengembangan obat tradisional di dalam pelayanan kesehatan saat ini sangat baik
dengan meningkatnya perhatian dan minat masyarakat baik masyarakat umum maupun
para ilmuan, untuk memanfaatkan dan kembali ke cara – cara pengobatan
tradisional dan obat – obat asli alam, (back to nature).
Alam Indonesia
disamping sangat kaya bahan baku obat juga sangat
kaya dengan berbagai jenis pengalaman dan resep ramuan obat tradisional yang
merupakan warisan pusaka turun – temurun, yang dimanfaatkan oleh masyarakat
berbagai etnik di Indonesia .
Hal
ini merupakan tantangan dan peluang
dalam meningkatkan pengembangan ramuan obat asli Indonesia
setidak-tidaknya dalam bentuk fitofarmaka
sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan didalam pelayanan kesehatan
formal. Adalah harapan bersama
fitofarmaka Indonesia
dapat bersaing dalam era pasar bebas dan dapat menjadi tuan rumah di negara
sendiri sehingga akan mengurangi
penggunaan obat tradisional asing (luar negeri) .Tentu mudah dipahami,
terealisasinya harpan ini tidak lepas dari adanya dukungan dari berbagai pihak
baik pemerintah maupun swasta /industri obat tradisional .
-00-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar